Banyak orang tua ingin anak-anak mereka lebih pintar dari anak orang lain. Tekanan sosial juga mempengaruhi para orang tua untuk membuat anak mereka meraih nilai akademik setinggi-tingginya agar tidak dicemooh oleh lingkungan sosialnya baik itu teman-teman orang tuanya, keluarga besar, tetangga, maupun sesama orang tua murid.
Salah satu cara untuk membuat anak menjadi cerdas adalah dengan mengikutkan kursus untuk anak-anak mereka. Hal ini masih diyakini menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan atas kecerdasan akademik anak dikarenakan dengan mengikuti kursus artinya si anak belajar lebih banyak dan lebih lama dibanding teman-teman mereka yang tidak kursus.
Sayangnya, hal ini tidak selamanya benar. Justru, hal ini menjadi salah satu penyebab anak jadi kurang dalam hal bersosialisasi yang malah menghambat tumbuh kembang anak.
Hertha Christabelle Hambalie, M.Psi., seorang Psikolog pernah menuliskan di dalam laman hellosehat.com bahwa menyesuaikan usia anak adalah hal yang paling penting. Jangan sampai ambisi orang tua untuk menjadikan anak mereka pintar malah membuat anak merasa stres dan seperti tidak dihargai oleh orang tua mereka.
Misalkan, jika anak masih berusia 6 tahun, maka lebih baik jika anak diberikan les yang berfokus untuk bermain seperti menyusun balok atau semacamnya. Jika usia semuda itu sudah diberikan les yang mengharuskan mereka duduk manis, diam tidak bergerak, apalagi harus menghitung banyak angka maka anak bisa sangat stres dan masa kecilnya jadi penuh trauma dengan belajar.
Atau pada usia remaja. Ketimbang memaksakan anak untuk mengikuti les-les yang sama seperti semua mata pelajarannya di sekolah, ada baiknya anak diberikan kebebasan untuk memilih les apa yang dia inginkan sesuai kemauannya. Hal ini akan membuat anak merasa orang tuanya memberinya tanggung jawab sebagai orang dewasa dalam menentukan hidupnya.
Tapi, bagaimana jika les yang dipilih tidak ada kaitannya dengan pelajaran sekolah?
Perlu diketahui bahwa tidak selalu hal yang berkaitan dengan pelajaran sekolah akan membuat anak jadi lebih semangat belajar. Misalkan sang anak hobi bela diri, kemudian ia dipaksa untuk les matematika hanya karena matematika merupakan pelajaran di sekolah, sedangkan bela diri tidak. Apa hasilnya? Sang anak mungkin akan stres dan itu membuat performa belajar turun.
Berbeda jika pada usia remaja sang anak diberikan kesempatan untuk belajar apa yang dia mau seperti bela diri. Maka, sang anak akan merasa hidupnya lebih menyenangkan yang akhirnya berdampak kepada performa belajarnya yang meningkat karena sang anak tidak stres. Keesokan harinya ketika di sekolah, ia bisa menerima pelajaran dengan lebih baik karena hormon stres yang rendah akibat perasaan senang setelah menjalankan kegiatan yang ia sukai sehari sebelumnya.
Yang terpenting adalah sang anak tetap harus belajar. Jangan sampai hanya satu hal saja yang ia pelajari sedangkan di sekolah ia belajar banyak mata pelajaran. Orang tua juga harus ingat bahwa di sekolah sang anak sudah belajar mata pelajaran yang diajarkan. Jangan dianggap bahwa di sekolah sang anak tidak belajar sama sekali sehingga di rumah ia harus belajar lagi semua mata pelajarannya.
Tumbuh kembang anak sangat kompleks. Satu sama lain saling berkaitan sehingga tidak bisa orang tua hanya terfokus pada satu hal saja dan mengabaikan hal lain. Tidak bisa orang tua hanya fokus pada nilai sekolah anak, tapi lupa bahwa anak juga bisa stres dan trauma dengan semua hal itu. Punya pengalihan dari belajar pelajaran sekolah malah akan membuat sang anak lebih bisa menerima proses belajarnya di sekolah.